*Hukum Asal Ibadah Adalah Dilaran:*
Kaidah nya berbunyi:
الأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْحَظْرُ فَلاَ يُشْرَعُ مِنْهَا إِلاَّ مَا شَرَعَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ, وَاْلأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ اْلإِبَاحَةُ فَلاَ يَحْرُمُ مِنْهَا إِلاَّ مَا حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
*Hukum Asal Dalam Peribadahan Adalah Dilarang, maka Tidak dibolehkan Kecuali Yang Disyariatkan (diperintah) Oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala Dan Rasul-Nya. Dan Hukum Asal Dalam Perkara Adat (budaya) adalah Diperbolehkan, Sehingga Tidaklah dilarang Kecuali Yang Diharamkan Oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.*
Kaidah yang mulia ini mencakup dua kaidah penting. Imam Ahmad dan kalangan imam lainnya telah menyatakan kaidah ini. Dalil-dalil dari Al-Qur`an dan Hadits telah mendukungnya. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan eksistensi kaidah yang pertama:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? [asy-Syûrâ/42 : 21].
Dan berkaitan dengan eksistensi kaidah yang kedua Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu [al-Baqarah/2 : 29].
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan seluruh perkara yang bermanfaat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan secara keseluruhan kecuali yang ada larangannya di dalam syari’at dikarenakan adanya unsur yang membahayakan manusia.
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. [al-A’râf /7 : 32].
Pada ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari perbuatan orang yang mengharamkan apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan untuk para hambanya berupa makanan, minuman, pakaian, dan semisalnya.
Dalam hal ini, eksistensi kedua kaidah tersebut dapat dijelaskan bahwa hakikat peribadahan adalah apa-apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan dengan perintah yang wajib ataupun sunnah. Maka setiap perkara yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya, atau perkara yang sunnah, maka itu termasuk ibadah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala diibadahi dan ditaati dengan perkara tersebut. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyatakan tentang diwajibkannya atau disunnahkannya suatu perbuatan yang tidak ditunjukkan oleh Al Kitab maupun As Sunnah, maka ia telah mengada-adakan perkara agama yang tidak diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan amalan tersebut tertolak atas pelakunya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak.[1]
Hal ini sebagaimana telah dijelaskan pula pada kaidah terdahulu bahwa syarat diterimanya amalan ibadah adalah bahwasannya amalan tersebut dikerjakan dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hendaknya diketahui pula bahwa perkara bid’ah yang diada-adakan dalam agama ini, ada yang jenisnya sama sekali tidak ada pensyariatannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya. Dan ada yang asalnya disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dengan suatu sifat, waktu pelaksanaan, dan tempat tertentu, kemudian dilaksanakan tidak sesuai yang ketentuan tersebut.
Misalnya orang yang menyatakan tentang wajibnya melaksanakan suatu sholat atau puasa tertentu tanpa adanya dalil yang menunjukkan tentang kewajibannya dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Atau seorang yang mengada-adakan perkara bid’ah dalam pelaksanaan wuquf di Arafah. Atau menganjurkan untuk melempar jumrah di selain waktunya. Demikian pula orang yang menyatakan sunnahnya ibadah di suatu waktu atau tempat tertentu tanpa adaya petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak ada dalilnya yang syar’i. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha Bijaksana kepada para hambanya, sehingga tidak ada hukum yang sesuai dengan manusia kecuali hukum-Nya dan tidak ada agama yang benar kecuali agama-Nya.
Adapun perkara adat, seperti makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, perindustrian, dan semisalnya, maka asalnya diperbolehkan. Maka, barangsiapa yang menyatakan haramnya suatu hal dari perkara-perkara tersebut, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya tidak mengharamkannya maka ia adalah seorang yang mengada-adakan perkara bid’ah. Perbuatan orang tersebut semisal dengan perbuatan orang-orang musyrik yang mengharamkan sebagian makanan yang sebenarnya dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya.
Demikian pula, perbuatan orang yang mengharamkan berbagai macam industri, serta penemuan-pememuan baru tanpa adanya dalil yang mengharamkannya. Maka orang yang melakukannya termasuk orang yang tersesat dan jahil.
Berkaitan dengan perkara adat ini, maka hal-hal yang haram darinya telah dirinci dalam Al Kitab dan As Sunnah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
…Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu,…. [al- An’âm/6 : 119].
Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkan sesuatu pun kecuali itu adalah sesuatu yang buruk dan membahayakan. Oleh karena itu, barangsiapa yang meneliti perkara-perkara yang haram maka ia akan mendapati bahwa di dalamnya terkandung kejelekan dan bahaya baik untuk hati, badan, agama, maupun dunia.
Maka termasuk sebesar-besar nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan apa-apa yang menimbulkan madharat untuk kita. Dan termasuk nikmat-Nya yang terbesar adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan apa-apa yang menumbuhkan manfaat untuk kita.
Kedua kaidah ini mempunyai manfaat yang sangat besar. Di mana dengan kaidah tersebut seseorang bisa mengetahui perkara-perkara bid’ah baik berkaitan dengan ibadah maupun adat. Maka barangsiapa menyatakan tentang disyari’atkannya suatu amalan ibadah padahal tidak ada tuntunannya di dalam syari’at maka ia adalah seorang yang mengada-adakan perkara bid’ah. Dan barangsiapa yang mengharamkan suatu perkara adat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkannya maka ia adalah seorang pembuat perkara bid’ah pula.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim dengan lafazh ini dalam kitab al-Aqdhiyah, Bab: Naqdhil Ahkamil, Dan hadits ini disepakati oleh Bukhâri dan Muslim dengan lafazh:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya maka ia tertolak. (Diriwayarkan oleh Bukhâri dalam kitab ash-Shulh, Bab: Idza Ishthalahu ‘ala Amrin Jaur, no. 2697. Dan diriwayatkan Muslim di tempat tersebut di atas.