Kesetiaan Nailah dan Detik-Detik Pembunuhan Utsman

share it

Facebook
Telegram
WhatsApp

Suara gaduh terdengar di pintu kamarnya. Kamar yang biasa menjadi tempat bercengkramanya dengan suami tercinta. Kendati begitu, ekspresi Nailah tampak tidak terlalu terkejut. Wajar, sebab sudah hampir 40 hari rumahnya terkepung oleh serbuan para demonstran (Al-Bidayah wa An-Nihayah Ibnu Katsir). Selain itu​ sudah beberapa lama kota Nabi Madinah, dijejali oleh para demonstran yang berjumlah ribuan orang. Anehnya, meski para demonstran tersebut berasal dari tiga wilayah berbeda, ada yang dari Mesir, Bashrah maupun dari Kufah tetapi mereka memiliki visi-misi yang sama, tuntutan mereka kepada suami Nailah pun bisa dikatakan sama. Padahal letak geografis antara Mesir, Bashrah dan Kufah masing-masing sangat jauh. Berbeda negeri. Tidak sampai di situ, jumlah para demonstran dari masing-masing wilayah pun persis sama. Bagi mereka yang memakai akal sehat, jelas gerakan para demonstran ini ada yang mengatur. Itu pula yang diakui wazir dan sahabat terdekat suami Nailah, Abu Thurab Abul Hasan Ali bin Abi Thalib. Selama masa pengepungan rumah suami Nailah oleh para demonstran, Ali merupakan figur yang paling khawatir terhadap keselamatan sang khalifah yang jua suami Nailah. Betapa tidak, kendati pun seluruh sahabat Rasulullah punya kekhawatiran yang sama, namun Ali termasuk yang paling siaga, buktinya Ali sampai memerintahkan dua putra tercintanya Hasan dan Husain untuk menjaga rumah suami Nailah, Utsman bin Affan.

“Krak, krak” dengan kasar salah seorang pemberontak Jahjah Al-Ghifari mematahkan tongkat Khalifah Utsman dan melemparkan patahannya. Tongkat tersebut ia peroleh dengan cara merebutnya begitu saja dari tangan tua sang Khalifah (Tarikh Ath-Thabari, 4: 367). Peristiwa tersebut terjadi beberapa waktu sebelum kamar Khalifah Utsman dimasuki oleh gerombolan demonstran. Nyatanya, mereka bukan sekedar demonstran melainkan pula bughat (pemberontak). Malam hari sebelum terbunuhnya sahabat yang dijuluki dzunurain tersebut, Khalifah Utsman sempat bermimpi bahwa Rasulullah datang kepadanya bersama Abu Bakar dan Umar, Rasulullah bersabda dalam mimpinya, “Utsman akan makan malam bersama kita pada malam ini” (Tarikh Ath-Thabari, 4: 383).

Petang menjelang malam 18 Dzulhijjah tahun 35 H, para pemberontak sudah tidak tahan lagi menahan emosi mereka. Dengan semena-mena mereka membakar pintu rumah Utsman di kala sang khalifah tengah melaksanakan shalat. Di kala peristiwa itu, menurut para periwayat, surat Al-Qur’an yang dibaca oleh Utsman adalah awal surat Thaha. Kekhusyukan shalatnya dan cepatnya Utsman bertilawah membuat menantu Rasulullah ini tidak mempedulikan kekisruhan di dekatnya. Saat di rakaat selanjutnya, Utsman tengah membaca surat Ali Imran ayat 173. Kamar Utsman itu berada di atas. Maklum saja, rumah Utsman cukup besar bahkan cukup untuk menampung banyak orang. Bisa jadi rumah Utsman termasuk rumah paling besar yang ada di Madinah. Di bawah, terjadi saling dorong antara para sahabat Rasulullah dengan pemberontak, dua di antaranya adalah Abu Hurairah dan Mughirah bin Syu’bah. Bahkan Abu Hurairah sempat menegur mereka dengan keras, “Duhai, bagaimana kalian ini, aku mengajak kalian ke keselamatan namun kalian malah mengajak aku ke neraka.” Abu Hurairah dikenal orang-orang sebagai ulama, maka tegurannya pun seharusnya didengar oleh para pemberontak. Namun sayang, hati dan telinga mereka telah terkunci, mereka pun menjawab nasihat-nasihat Abu Hurairah dengan kata-kata, “Hari ini adalah hari dihalalkannya pertumpahan darah!”

Jelas, ucapan seperti ini hanya lahir dari para pemuda yang minim ilmu dan terlampau bersemangat, mereka tertipu fitnahan kaum Saba’ bahwa Utsman adalah pemimpin yang zhalim. Kedahsyatan fitnahnya memang luar biasa. Bahkan anak seorang Ash-Shiddiq pun, Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq sempat berdiri di barisan mereka. Bahkan ia yang sudah terprovokasi fitnah ini sempat menarik janggut Utsman yang baru selesai shalat. Untunglah Khalifah Utsman berjiwa besar. Utsman mengingatkan kedekatan dirinya dengan ayah Muhammad bin Abu Bakar, dalam riwayat lain Utsman juga menegurnya karena beliau tidak pernah berbuat kezhaliman kepada dirinya. Seraya berkata pula, “Kau telah mencengkram janggut yang dulu dimuliakan ayahmu!?”. Akhirnya Muhammad bin Abu Bakar melunak dan tersadar, ia memisahkan diri dari pemberontak sambil menutupi mukanya, saking malu terhadap perbuatannya yang menggenggam janggut orang tua. Lebih-lebih orang tua tersebut adalah Utsman bin Affan. Demikian diriwayatkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah.

Memang, ada dua orang lain yang juga hendak menyerang Utsman namun langsung melunak saat dinasihati oleh sang khalifah. Orang pertama melunak dan tidak jadi menyerang Utsman lantaran pernah didoakan kebaikan oleh Rasulullah. Utsman mengingatkannya, jangan sampai doa dari Rasulullah dinodai oleh perbuatannya tersebut, sedangkan yang seorang lagi mengurungkan niatnya ketika hendak menyerang Utsman lantaran Utsman berkata, “Kau tidak akan bisa membunuhku.”

“Mengapa?” kata orang tersebut.

“Sesungguhnya Rasulullah telah memohon ampunan kepada Allah untukmu, oleh karena itu kamu tidak akan mengotori tanganmu dengan darah yang diharamkan untuk kamu bunuh,” sahut Utsman.

Maka orang tersebut beristighfar dan menyesal, ia pun memisahkan diri dari barisan pemberontak. Maka Muhammad bin Abu Bakar dan dua orang tersebut termasuk yang bertaubat, serta memisahkan diri dari barisan pemberontak di detik-detik akhir menjelang pembunuhan Khalifah Utsman.

Kebebalan para pemberontak yang mengepung dan memenuhi rumah Utsman memang tiada tara. Sampai-sampai waktu sahabat senior kaliber Abdullah bin Salam menegur perbuatan mereka, para pemberontak di sekitarnya malah memakinya sebagai anak Yahudi, “Wahai anak Yahudi (Abdullah bin Salam berasal dari Bani Israil Madinah) tak ada urusan denganmu!” Dari sini Kita bisa memahami, betapa bebal pemahaman Islam para pemberontak ini. Tak beradab sedikit pun. Tak ada kesopanan sama sekali kepada sahabat-sahabat Nabi, guru-guru mereka.

Abdullah bin Salam pun berhenti menegur mereka lantaran tahu bahwa hati dan telinga mereka telah tertutup.

Tibalah saat para pemberontak mengepung Khalifah Utsman di kamarnya. Disebutkan dalam Tarikh Ath-Thabari, para pemberontak yang masuk ke rumah Utsman di antaranya bernama Qutairah, Saudan bin Hamran dan Al-Ghafiqi. Al-Ghafiqi ini tega memukul tubuh tua Utsman memakai tongkat besi, setelah itu ia menendang mushaf yang tadinya tengah dibaca Utsman. Dzunurain berdarah akibat pukulannya, darah pun bercucuran. Penyerangnya yang paling awal disebutkan bernama Al-Mautul Aswad atau yang disebut juga Jabalah, dialah yang pertama mencekik Utsman hingga sang Khalifah sesak nafas, selain itu para penyerang lainnya bernama Kinanah bin Bysr dan Sawad bin Hamran, demikian nama-nama yang diriwayatkan Ibnu Katsir dan Ibnu Asakir.

Namun serangan pertama yang membuat Utsman tertumpah darahnya adalah serangan dari Al-Ghafiqi. Utsman pun bercucuran darah dan kepayahan. Setelah itu giliran Saudan bin Hamran yang menyerang beliau. Saudan hendak menebas tubuh Utsman dengan pedangnya. Saat itulah Nailah Al-Farafishah, tokoh utama dalam kisah ini, tiba-tiba datang dari ruangan sebelah dan mendorong Saudan. Saudan pun terjatuh. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah Ibnu Katsir dan riwayat Ibnu Asakir, disebutkan bahwa Nailah awalnya menahan serangan pemberontak tersebut dengan pedang. Tetapi pedangnya itu berhasil direbut gerombolan pemberontak.

Aksi heroik istri muda Dzunurain ini tak sampai di situ saja, ia pula yang menjatuhkan pedang Saudan. Kendati begitu, dorongan Nailah tak membuat Saudan jera. Saudan bereaksi dengan menebaskan pedangnya ke tangan Naylah. Jari-jari tangan Nailah pun terputus dan tangannya berlumuran darah. Kebiadabannya tidak sampai di situ, Saudan melecehkan Naylah dengan meraba paha Nailah, seraya menghardik istri Utsman tersebut dengan kata-kata yang melecehkan fisiknya. Lalu salah seorang pemberontak tak sabar lagi, menebaskan pedangnya ke tubuh Utsman dan membunuhnya. Menurut Imam Abu Ya’la dalam kitab Meluruskan Tragedi Sejarah Tragedi Pembunuhan Utsman (kitab terjemahan dan ringkasan), Nailah sempat hendak melindungi Utsman dengan tubuhnya, namun seorang pemberontak menusukkan pedangnya ke arah Utsman yang tidak tertutup dengan tubuh Nailah. Begitu sadar mereka telah membunuh sahabat dekat Rasulullah itu, mereka malah merampas harta yang ada di rumah Utsman dan merampok harta Baitul Mal.

Sementara itu Nailah yang terluka parah melupakan sakitnya. Kendati jari-jari indah tangannya hilang, dan membuat cacat fisik seumur hidupnya, namun yang membuatnya sangat bersedih adalah wafatnya sang suami tercinta. Menurut sebuah riwayat, perbedaan usia Nailah dan Utsman terpaut lebih dari 50 tahun. Maklum saja, kala menikahi Nailah Utsman telah berusia 75 tahun sedangkan Nailah masih gadis. Sedangkan Utsman waktu terbunuh di petang hari 18 Dzulhijjah tahun 35 H usianya telah mencapai 82 tahun, Nailah hidup bersama Utsman sekitar tujuh tahun. Semasa hidupnya, Nailah yang berasal dari kalangan bangsawan merupakan Muslimah teladan. Nailah pernah dilamar oleh sepupu Utsman, Muawiyah bin Abi Sufyan namun Nailah menolaknya lantaran ia memilih untuk setia dengan Utsman. Bukankah sang Muslimah shalihah ini tengah menggantungkan harapannya kepada Allah ‘azza wa jalla untuk dipertemukan kembali dengan sang suami tercinta. Ia ridha. Terlebih jari-jari tangannya yang terputus kelak menjadi hujjahnya di akhirat kelak. Jari-jari tangan wanita teladan ini telah lebih dahulu dipersembahkan kepada Rabbul ‘Izzah, sebagai tanda cinta terhadap suaminya, yang diharapkan pertemuannya kembali di surga.

Ilham Martasyabana, Penggiat sejarah Islam

Masjid Nurul Hidayah

Perum Taman Toraja, Tanjung Merdeka, Makassar

© 2023 | Masjid Nurul Hidayah

Perum Taman Toraja, Tj. Merdeka, Kota Makassar